Rabu, 31 Maret 2010

ARTIKEL DAN OPINI

Opsi Lain Menggenjot Pajak
Kamis, 06 Agustus 2009 07:44



Tugas berat menanti jajaran Ditjen Pajak dalam kurun waktu lima bulan ke depan. Salah
satunya-dan selalu menjadi indikator kebei hasilan ki-nerja-adalah pencapaian penerimaan
pajak tahun 2009. Akibat efek dari penurunan ekonomi global, penerimaan pajak turut
mengalami perlambatan. Sampai dengan semester I-2009, pajak baru mencapai 48 persen dari
target pajak 2009 sehingga mau tak mau jajaran Ditjen Pajak harus mengenjot penerimaan
pajak, setidaknya untuk menutupi kekurangan 2 persen tersebut Selain mainstream
ekstensifikasi Wajib Pajak dan Intensifikasi Pajak melalui kegiatan benchmarking, masih ada
program lain yang bersifat ad hoc yang dapat dilaksanakan oleh Ditjen Pajak. Tulisan ini akan
menawarkan cara (opsi) lain dalam mengenjot pajak.
Derta Potensial
Persoalan utama dalam mengali potensi pajak adalah ketersediaan data. Selain karena aturan
yang belum bersinergi, kebiasaan transaksi dengan kas (cosh) turut mendorong kurangnya
data yang diperoleh Ditjen Pajak. Data transaksi perbankan merupakan sumber data potensial
dan ampuh dalam menggali pajak. Namun, karena alasan kenyamanan nasabah dan rahasia
perbankan, seperti tertuang dalam Peraturan Bank Indonesia (BI) Nomor 2/19/PBI/2000 tentang
Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Perintah dan/atau Izin Tertulis Membuka Rahasia Bank,
apabila Ditjen Pajak akan meminta data perbankan, pasti akan menjadi polemik nasional.
Untuk saat ini, setidaknya ada dua data yang dapat segera dimanfaatkan, yaitu data
penyumbang (donatur) parpol peserta Pemilu 2009 dan data pembeli (investor) Obligasi Ritel
Indonesia 2009. Data ini sangatberguna sekab dalam pengalian potensi perpajakan karena
dapat segera ditentukan apakah donatur tersebut sudah memiliki NPWP dan apakah dana
tersebut sudah dikenakan pajak atau belum.
Tujuan utama dikeluarkannya ORI006 adalah untuk menutupi defisit anggaran. Namun,
manfaat lain yang didapat adalah tersedianya data investor ORI006 tersebut Antusiasme
investor membeli ORI006 ini sangat fantastis, ditunjukkan oleh adanya permintaan tambahan
kuota dari bank penjual ORI006 kepada pemerintah.
Nilai penjualan ORI006 mencapai Rp 4,5 triliun (Senin, 3/8/2009). Dengan mengacu pada
aturan pembelian minimal Rp 5 juta dan maksimal Rp 3 milliar, diprediksi jumlah investor
mencapai 1.500-902.000 investor Kalau rata rata nilai pembelian Rp 100 juta, jumlah investor
diperkirakan mencapai 45.000 investor. Tentunya, investor di sini adalahorang yang memang
dapat dikatakan memiliki uang lebih atau tidak perlu diragukan lagi pasti penghasilannya di atas
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).
Hambatan
Hambatan dalam memperoleh data tersebut dapat bersifat politis dan teknis. Bersifat politis
karena akan secara tidak langsung melibatkan berbagai kepentingan. Resistensi dari parpol
tentunya ada karena akan menganggu kenyamanan dari penyumbangnya.
1 / 3


Opsi Lain Menggenjot Pajak
Kamis, 06 Agustus 2009 07:44


Efek jangka panjangnya akan muncul keenganan dari penyumbang untuk berpartisipasi pada
pemilu berikutnya. Untuk ORI006, apabila data investor dibuka ke Ditjen Pajak, akan
berdampak buruk bagi posisi tawar pemerintah selanjutnya. Kepercayaan akan turun, akibatnya
investor tidak mau masuk lagi ke obligasi pemerintah walaupun imbal hasil {yield) lebih besar
dariperbankan dan pemotongan pajak final lebih kecil dari deposito/tabungan.
Secara teknis, hambatan muncul karena menganggap belum ada aturan yang jelas tentang hal
ini. UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu tidak mengatur kewajiban ber-NPWP bagi
penyumbang parpol. Hanya peraturan KPU yang mewajibkan bagi penyumbang parpol dengan
nilai di atas Rp 20 juta wajib mencantumkan NPWP-nya.
Walaupun secara teknis bagi Ditjen Pajak tidak bermasalah apakah mencantumkan NPWP
atau tidak asalkan identitas nama dan alamat penyumbang jelas, apabila setelah diteliti belum
ber-NPWP Ditjen Pajak secara jabatan dapat memberikan NPWP baru dan menentukan pajak
tentangnya.
Ditjen Pajak dapat menggunakan Pasal 35A UU Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) untuk men-gakses dan menghimpun data dan
informasi untuk kepentingan penerimaan negara. Disebutkan dalam pasal tersebut bahwa
setiap instansi (pemerintah dan swasta), asosiasi, dan pihak lain wajib memberikan data dan
informasi yang berkaitan dengan perpajakan kepada Ditjen Pajak. Sanksi bagi pihak ketiga
yang tidak memenuhi Pasal 35A tersebut nyata disebutkan dalam Pasal 41C yaitu dapat
berupa kurungan dan atau denda.
Perlunya SIN
Ketika APBN sangat tergantung kepada penerimaan pajak, sudah sepantasnya pemerintah
mendukung penuh setiap usaha menghimpun penerimaan pajak. Secara makro, pencapaian
penerimaan pajak juga akan berdampak pada kemampuan pemerintah dalam mengelola
anggaran untuk kepentingan publik. Dukungan yang sangat diperlukan saat ini adalah
membentuk Single Identity Number (SIN), yaitu identitastunggal yang dipergunakan setiap
warga negara ketika ingin mendapatkan pelayanan publik, termasuk jasa perbankan.
SIN ini akan mencakup identitas kependudukan, SIM, perbankan dan perpajakan. Karena
setiap instansi pemerintah/swasta mengeluarkan identitas sendiri dalam memberikan
pelayanan, langkah pertama yang harus dilakukan adalah koordinasi antar instansi
Koordinasi akan efektif jika ada aturan yang mengakomodasi ego setiap instansi terkait
Kemauan pemerintah dapat diwujudkan dalam inisiatif mengeluarkan RUU atau peraturan
pemerintah. SIN akan memberikan informasi menyeluruh kepada Ditjen Pajak untuk mengali
potensi pajak sehingga penulis yakin penerimaan pajak akan sesuai dengan potensi
sebenarnya.
2 / 3


Opsi Lain Menggenjot Pajak
Kamis, 06 Agustus 2009 07:44



Sumber : Sinar Harapan
Oleh Chandra Budi
Staf Direktorat Jenderal Pajak Departemen Keuangan
3
Opsi Lain Menggenjot Pajak
Kamis, 06 Agustus 2009 07:44



Tugas berat menanti jajaran Ditjen Pajak dalam kurun waktu lima bulan ke depan. Salah
satunya-dan selalu menjadi indikator kebei hasilan ki-nerja-adalah pencapaian penerimaan
pajak tahun 2009. Akibat efek dari penurunan ekonomi global, penerimaan pajak turut
mengalami perlambatan. Sampai dengan semester I-2009, pajak baru mencapai 48 persen dari
target pajak 2009 sehingga mau tak mau jajaran Ditjen Pajak harus mengenjot penerimaan
pajak, setidaknya untuk menutupi kekurangan 2 persen tersebut Selain mainstream
ekstensifikasi Wajib Pajak dan Intensifikasi Pajak melalui kegiatan benchmarking, masih ada
program lain yang bersifat ad hoc yang dapat dilaksanakan oleh Ditjen Pajak. Tulisan ini akan
menawarkan cara (opsi) lain dalam mengenjot pajak.
Derta Potensial
Persoalan utama dalam mengali potensi pajak adalah ketersediaan data. Selain karena aturan
yang belum bersinergi, kebiasaan transaksi dengan kas (cosh) turut mendorong kurangnya
data yang diperoleh Ditjen Pajak. Data transaksi perbankan merupakan sumber data potensial
dan ampuh dalam menggali pajak. Namun, karena alasan kenyamanan nasabah dan rahasia
perbankan, seperti tertuang dalam Peraturan Bank Indonesia (BI) Nomor 2/19/PBI/2000 tentang
Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Perintah dan/atau Izin Tertulis Membuka Rahasia Bank,
apabila Ditjen Pajak akan meminta data perbankan, pasti akan menjadi polemik nasional.
Untuk saat ini, setidaknya ada dua data yang dapat segera dimanfaatkan, yaitu data
penyumbang (donatur) parpol peserta Pemilu 2009 dan data pembeli (investor) Obligasi Ritel
Indonesia 2009. Data ini sangatberguna sekab dalam pengalian potensi perpajakan karena
dapat segera ditentukan apakah donatur tersebut sudah memiliki NPWP dan apakah dana
tersebut sudah dikenakan pajak atau belum.
Tujuan utama dikeluarkannya ORI006 adalah untuk menutupi defisit anggaran. Namun,
manfaat lain yang didapat adalah tersedianya data investor ORI006 tersebut Antusiasme
investor membeli ORI006 ini sangat fantastis, ditunjukkan oleh adanya permintaan tambahan
kuota dari bank penjual ORI006 kepada pemerintah.
Nilai penjualan ORI006 mencapai Rp 4,5 triliun (Senin, 3/8/2009). Dengan mengacu pada
aturan pembelian minimal Rp 5 juta dan maksimal Rp 3 milliar, diprediksi jumlah investor
mencapai 1.500-902.000 investor Kalau rata rata nilai pembelian Rp 100 juta, jumlah investor
diperkirakan mencapai 45.000 investor. Tentunya, investor di sini adalahorang yang memang
dapat dikatakan memiliki uang lebih atau tidak perlu diragukan lagi pasti penghasilannya di atas
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).
Hambatan
Hambatan dalam memperoleh data tersebut dapat bersifat politis dan teknis. Bersifat politis
karena akan secara tidak langsung melibatkan berbagai kepentingan. Resistensi dari parpol
tentunya ada karena akan menganggu kenyamanan dari penyumbangnya.
1 / 3


Opsi Lain Menggenjot Pajak
Kamis, 06 Agustus 2009 07:44


Efek jangka panjangnya akan muncul keenganan dari penyumbang untuk berpartisipasi pada
pemilu berikutnya. Untuk ORI006, apabila data investor dibuka ke Ditjen Pajak, akan
berdampak buruk bagi posisi tawar pemerintah selanjutnya. Kepercayaan akan turun, akibatnya
investor tidak mau masuk lagi ke obligasi pemerintah walaupun imbal hasil {yield) lebih besar
dariperbankan dan pemotongan pajak final lebih kecil dari deposito/tabungan.
Secara teknis, hambatan muncul karena menganggap belum ada aturan yang jelas tentang hal
ini. UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu tidak mengatur kewajiban ber-NPWP bagi
penyumbang parpol. Hanya peraturan KPU yang mewajibkan bagi penyumbang parpol dengan
nilai di atas Rp 20 juta wajib mencantumkan NPWP-nya.
Walaupun secara teknis bagi Ditjen Pajak tidak bermasalah apakah mencantumkan NPWP
atau tidak asalkan identitas nama dan alamat penyumbang jelas, apabila setelah diteliti belum
ber-NPWP Ditjen Pajak secara jabatan dapat memberikan NPWP baru dan menentukan pajak
tentangnya.
Ditjen Pajak dapat menggunakan Pasal 35A UU Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) untuk men-gakses dan menghimpun data dan
informasi untuk kepentingan penerimaan negara. Disebutkan dalam pasal tersebut bahwa
setiap instansi (pemerintah dan swasta), asosiasi, dan pihak lain wajib memberikan data dan
informasi yang berkaitan dengan perpajakan kepada Ditjen Pajak. Sanksi bagi pihak ketiga
yang tidak memenuhi Pasal 35A tersebut nyata disebutkan dalam Pasal 41C yaitu dapat
berupa kurungan dan atau denda.
Perlunya SIN
Ketika APBN sangat tergantung kepada penerimaan pajak, sudah sepantasnya pemerintah
mendukung penuh setiap usaha menghimpun penerimaan pajak. Secara makro, pencapaian
penerimaan pajak juga akan berdampak pada kemampuan pemerintah dalam mengelola
anggaran untuk kepentingan publik. Dukungan yang sangat diperlukan saat ini adalah
membentuk Single Identity Number (SIN), yaitu identitastunggal yang dipergunakan setiap
warga negara ketika ingin mendapatkan pelayanan publik, termasuk jasa perbankan.
SIN ini akan mencakup identitas kependudukan, SIM, perbankan dan perpajakan. Karena
setiap instansi pemerintah/swasta mengeluarkan identitas sendiri dalam memberikan
pelayanan, langkah pertama yang harus dilakukan adalah koordinasi antar instansi
Koordinasi akan efektif jika ada aturan yang mengakomodasi ego setiap instansi terkait
Kemauan pemerintah dapat diwujudkan dalam inisiatif mengeluarkan RUU atau peraturan
pemerintah. SIN akan memberikan informasi menyeluruh kepada Ditjen Pajak untuk mengali
potensi pajak sehingga penulis yakin penerimaan pajak akan sesuai dengan potensi
sebenarnya.
2 / 3


Opsi Lain Menggenjot Pajak
Kamis, 06 Agustus 2009 07:44



Sumber : Sinar Harapan
Oleh Chandra Budi
Staf Direktorat Jenderal Pajak Departemen Keuangan
3